Jakarta - Dua jabatan tangan Michael Laudrup ke manajer lawan berujung pada delapan gol di akhir pertandingan. Kini tinggal menanti bagaimana Premier League merespons salam kenal dari pria elegan asal Denmark itu.
Laudrup menjabat tangan kedua manajer itu, Mark Hughes dan Sam Allardyce, dengan senyum dan dia juga mengakhirinya dengan senyuman--mungkin dengan yang lebih lebar. Laudrup mungkin tidak tahu seperti apa rasanya Hughes dan Allardyce di akhir pertandingan itu. Getir, mungkin, siapa tahu? Apalagi Hughes yang sudah (berusaha) bagus-bagus membangun timnya hanya untuk dilumat lima gol tanpa balas di laga pembuka musim.
Dan begitulah awal cerita Laudrup di Swansea, tim yang baru ditanganinya sejak Juni silam. Delapan gol ke gawang Queens Park Rangers dan West Ham United--plus belum kebobolan satu gol pun--telah membuat angsa dari Wales itu terbang ke pucuk tertinggi Premier League.. Sebelum akhirnya digeser oleh Chelsea lagi. Tapi, tetap saja tak bisa menghilangkan kata "impresif" untuk start yang terlalu awal dari Swansea.
Filosofi Laudrup sederhana: tiap kali timnya menguasai bola, ia mengharuskan pemain-pemain lainnya merapat, mendekat, membuat mereka berada dalam posisi yang memungkinkan untuk dioper. Terdengar familiar? Ya, gaya Swansea yang kerap bermain bola-bola pendek yang sudah tertanam sejak masa kepelatihan Roberto Martinez, lalu dilanjutkan oleh Brendan Rodgers musim lalu, seperti menemukan tangan penerima tongkat estafet pada Laudrup.
Laudrup memang begitu. Siapa pun yang pernah bermain dengannya melontarkan pujian setinggi langit mengenai caranya bermain; begitu elegan, dengan operan-operan mewah. "Dia jenius! Dia adalah alasan mengapa saya bisa mencetak banyak gol," kata Ivan Zamorano suatu waktu. Bahkan Pep Guardiola yang terkenal itu mengakui bahwa Laudrup adalah orang yang mengajari semua yang ia tahu tentang cara bermain sepakbola. Patut dicatat, Laudrup dan Pep adalah anggota tim "dream team" Barcelona di bawah arahan Johan Cruyff.
Ada musim di mana saya mengingat Laudrup bermain. Musim di mana ia membawa Ajax Amsterdam memenangi gelar ganda, Eredivisie dan Piala Belanda, pada 1997/1998. Ajax relatif hancur lebur pada musim sebelumnya dengan hanya finis di posisi empat pada akhir musim. Banyak yang mengait-ngaitkan performa musim itu dengan alasan yang tidak masuk akal; karena Ajax meninggalkan De Meer dan menjadikan Amsterdam Arena sebagai rumah baru.
Dan datanglah Morten Olsen. Kehadiran manajer asal Denmark itu membuat Laudrup tertarik untuk bergabung. Ia baru saja menghabiskan waktu satu musim bersama Vissel Kobe di Jepang dan langsung harus bahu-membahu bersama Tijjani Babangida dan Shota Arveladze di lini depan. Ada label bahwa Ajax pada musim pertama Olsen adalah "Ajax yang instan" lantaran deretan pemain-pemain barunya. Beda dengan Ajax sebelumnya yang disesaki oleh Patrick Kluivert, Edgar Davids, hingga Clarence Seedorf. Tapi trio Laudrup-Babangida-Arveladze memang tidak terhentikan.
Ajax musim itu mengakhiri musim dengan 90 poin, unggul 39 poin atas PSV Eindhoven yang harus puas jadi runner-up. Mereka mencetak 112 gol di liga dan gawang yang musim itu mayoritas dikawal Edwin Van der Sar hanya kebobolan 22 gol. Laudrup (lagi-lagi) mendapatkan pujian atas permainannya, dan juga bagaimana ia mengirimkan bola kepada rekan-rekannya.
Tapi, itu adalah musim terakhirnya sebagai pesepakbola. Seumur hidup dia tidak pernah bermain di Premier League. Tapi, ia menghabiskan banyak waktu bersama Juventus, Barcelona, dan Real Madrid.
Ajax tanpa Laudrup di musim berikutnya. Tanpa Ronald dan Frank de Boer juga, yang pindah ke Barcelona setelah tarik-ulur panjang dengan klub. Dua musim berikutnya, mereka juga ditinggal Van der Sar. Klub tersukses di Belanda itu pun mengalami kemunduran lagi.
Kini, bertahun-tahun setelahnya, Laudrup yang banjir pujian itu sudah jadi manajer. Ia terbilang lumayan kala menangani Getafe beberapa musim silam. Ia membawa Getafe melaju ke final Copa del Rey, namun kalah dari Valencia, dan perempatfinal Piala UEFA, namun disingkirkan oleh Bayern Munich. Gayanya masih sama seperti bermain; elegan, perlente. Bahkan ada sebuah blog yang bahkan membahas bahwa gaya fashion Laudrup membuat para manajer Premier League tampak kaku. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana ia memainkan sepakbola diterapkannya pada tim yang diasuhnya. Swansea, katanya, cocok dengan pola pemikirannya.
Lalu didatangkanlah para pemain semodel Michu, yang dimaksudkannya untuk menggantikan Gylfi Sigurdsson, dan Ki Sung-Yueng, gelandang tengah tinggi-besar yang kerap disebut-sebut sebagai "Gerrard dari Korea" untuk menggantikan Joe Allen. Michu, sejauh ini, tampil bagus. Ia mampu mencetak tiga gol dalam dua pertandingan pertama.
Ia disambut dengan hangat oleh para pemainnya. Apalagi dengan latar belakangnya yang terbilang luar biasa sebagai pemain. "Dia adalah legenda. Lihat saja halaman Wikipedia-nya kalau tidak percaya," ucap kapten Swansea, Ashley Williams, merujuk pada banyaknya komentar bagus mengenai pria 48 tahun itu, kala diwawancarai Guardian.
Tapi, kemudian Laudrup membalas dengan senyum, "Saya bukanlah orang yang hidup dalam masa lalu."
Jika Laudrup menganggap dua pertandingan awal adalah masa lalu juga, maka menarik untuk menyaksikan bagaimana ia membawa Swansea 36 pekan ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar