Perlawanan Rakyat Aceh (1873-1904)
Aceh merupakan salah satu kerajaan di Indonesia yang kuat dan masih tetap bertahan hingga abad XIX. Berdasarkan Traktat London tahun 1824 bangsa Inggris dan Belanda yang sudah pernah berkuasa di Indonesia harus saling sepakat menghormati keberadaan Kerajaan Aceh.
Berdasarkan Perjanjian (Traktat) Sumatra tahun 1871 atau yang lebih dikenal dengan Traktat London ke-3, pihak Inggris melepas tuntutannya terhadap daerah Aceh. Kerajaan Aceh berusaha mencari bantuan ke Turki serta menghubungi Kedutaan Italia dan Amerika Serikat di Singapura. Sementara bantuan dari Turki belum datang, pada bulan Maret 1873 Belanda di bawah pimpinan Jenderal Kohler berusaha merebut dan menduduki ibu kota dan istana Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh berhasil diduduki, tetapi dalam pertempuran tersebut Jenderal Kohler tewas tertembak. Mengawali terjadinya Perang Aceh yang berkepanjangan mulai tahun 1 873-1904 pasukan Belanda melaksanakan operasi Konsentrasi Stelsel sambil menggertak para pemimpin Aceh agar menyerah. Beberapa pimpinan utama Aceh, yaitu Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya Din, Panglima Polim, dan Cut Meutia (bersama-sama dengan rakyat Aceh) melancarkan serangan umum.
Pada bulan Desember 1873 Belanda mengirim pasukan perang ke Aceh dengan kekuatan 8.000 personel di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van Swiesten. Akan tetapi, upaya Belanda menawan Sultan Mahmud Syah belum berhasil karena sultan beserta para pejabat kerajaan telah menyingkir ke Luengbata. Setelah Sultan Mahmud Syah meninggal karena sakit, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Daudsyah.
Setelah Teuku Cik Di Tiro sebagai pemimpin utama Aceh wafat, pucuk pimpinan dilanjutkan Teuku Umar dan Panglima Polim. Pada tahun 1893 Teuku Umar beserta pasukannya memanfaatkan kelengahan Belanda dengan tujuan mendapatkan senjata. Kemenangan Teuku Umar disambut baik oleh rakyat sehingga beliau mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan. Pada tahun 1896 Teuku Umar bergabung kembali dengan rakyat Aceh membangun markas pertahanan MeuIaboh.
Peristiwa Teuku Umar yang berhasil menyiasati Belanda dipandang sebagai kesalahan besar. Deykerhoff sebagai gubernur militer, digantikan oleh Jenderal Van Heutsz. Belanda memberi tugas kepada Dr. Snouck Hurgronje untuk menyelidiki perilaku masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje dalam menjalankan tugasnya menggunakan nama samaran, yaitu Abdul Gafar.
Untuk mengalahkan Aceh, lebih cepat dan tepat, Belanda menggunakan strategi sebagai berikut.
a) Menghancurkan dan menangkap seluruh pemimpin dan ulama dari pusat.
b) Membentuk pasukan gerak cepat (marechausse).
c) Semua pemimpin dan ulama yang tertangkap harus menandatangani perjanjian.
d) Setelah melakukan operasi militer, Belanda mengikuti kegiatan perdamaian rehabilitasi (pasifikasi).
e) Bersikap lunak terhadap para bangsawan.
Atas usulan Dr. Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda memberi tugas kepada Jenderal Militer Van Heutsz. Pada tahun 1899 pasukan gerak cepat pimpinan Van Heutsz berhasil menewaskan Teuku Umar. Perlawanan dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak Din, tetapi kemudian tertangkap dan diasingkan ke Sumedang hingga akhir hayatnya.
Belanda menyandera keluarga raja dan keluarga Panglima Polim. Perlawanan Aceh berikutnya dilanjutkan oleh Cut Meutia, tetapi perlawanan ini dapat dipadamkan. Perlawanan Aceh terus berlangsung hingga tahun 1942.
Berdasarkan Perjanjian (Traktat) Sumatra tahun 1871 atau yang lebih dikenal dengan Traktat London ke-3, pihak Inggris melepas tuntutannya terhadap daerah Aceh. Kerajaan Aceh berusaha mencari bantuan ke Turki serta menghubungi Kedutaan Italia dan Amerika Serikat di Singapura. Sementara bantuan dari Turki belum datang, pada bulan Maret 1873 Belanda di bawah pimpinan Jenderal Kohler berusaha merebut dan menduduki ibu kota dan istana Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh berhasil diduduki, tetapi dalam pertempuran tersebut Jenderal Kohler tewas tertembak. Mengawali terjadinya Perang Aceh yang berkepanjangan mulai tahun 1 873-1904 pasukan Belanda melaksanakan operasi Konsentrasi Stelsel sambil menggertak para pemimpin Aceh agar menyerah. Beberapa pimpinan utama Aceh, yaitu Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya Din, Panglima Polim, dan Cut Meutia (bersama-sama dengan rakyat Aceh) melancarkan serangan umum.
Pada bulan Desember 1873 Belanda mengirim pasukan perang ke Aceh dengan kekuatan 8.000 personel di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van Swiesten. Akan tetapi, upaya Belanda menawan Sultan Mahmud Syah belum berhasil karena sultan beserta para pejabat kerajaan telah menyingkir ke Luengbata. Setelah Sultan Mahmud Syah meninggal karena sakit, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Daudsyah.
Setelah Teuku Cik Di Tiro sebagai pemimpin utama Aceh wafat, pucuk pimpinan dilanjutkan Teuku Umar dan Panglima Polim. Pada tahun 1893 Teuku Umar beserta pasukannya memanfaatkan kelengahan Belanda dengan tujuan mendapatkan senjata. Kemenangan Teuku Umar disambut baik oleh rakyat sehingga beliau mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan. Pada tahun 1896 Teuku Umar bergabung kembali dengan rakyat Aceh membangun markas pertahanan MeuIaboh.
Peristiwa Teuku Umar yang berhasil menyiasati Belanda dipandang sebagai kesalahan besar. Deykerhoff sebagai gubernur militer, digantikan oleh Jenderal Van Heutsz. Belanda memberi tugas kepada Dr. Snouck Hurgronje untuk menyelidiki perilaku masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje dalam menjalankan tugasnya menggunakan nama samaran, yaitu Abdul Gafar.
Untuk mengalahkan Aceh, lebih cepat dan tepat, Belanda menggunakan strategi sebagai berikut.
a) Menghancurkan dan menangkap seluruh pemimpin dan ulama dari pusat.
b) Membentuk pasukan gerak cepat (marechausse).
c) Semua pemimpin dan ulama yang tertangkap harus menandatangani perjanjian.
d) Setelah melakukan operasi militer, Belanda mengikuti kegiatan perdamaian rehabilitasi (pasifikasi).
e) Bersikap lunak terhadap para bangsawan.
Atas usulan Dr. Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda memberi tugas kepada Jenderal Militer Van Heutsz. Pada tahun 1899 pasukan gerak cepat pimpinan Van Heutsz berhasil menewaskan Teuku Umar. Perlawanan dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak Din, tetapi kemudian tertangkap dan diasingkan ke Sumedang hingga akhir hayatnya.
Belanda menyandera keluarga raja dan keluarga Panglima Polim. Perlawanan Aceh berikutnya dilanjutkan oleh Cut Meutia, tetapi perlawanan ini dapat dipadamkan. Perlawanan Aceh terus berlangsung hingga tahun 1942.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar