Kamis, 15 Agustus 2013

Sultan Mahmud Badarudin

Sultan Mahmud Badarudin II
              
               Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852)[1] adalah pimpinan kesultanan Palembang Darussalam selama 2 periode (1803-1813 dan 1818-1821), Menerukan masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776 sampai 1803). Nama asli beliau sebelum menjadi seorang Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.
Ketika menjadi pemimpin Kesultanan Palembang, kebijakan luar negerinya diwarnai oleh semangat anti campur tangan terhadap urusan pemerintahan kerajaan. Kebijakan itu juga dibarengi dengan usaha memperkuat pasukan bagi pertahanan kerajaannya.

Sejak itu, ia berusaha membebaskan Palembang dari pengaruh kekuasaan Belanda. Untuk itu, ia menjalin kerja sama dengan penguasa Inggris di Penang, Malaysia, dimana ia kemudian memperoleh banyak senjata.

Perang dengan Belanda akhirnya tak dapat dihindarkan. Sementara itu, Belanda juga mengalami kekalahan pada saat melawan Perancis di bawah komando Kaisar Napoleon Bonaparte. Raja Belanda Willem V mengungsi ke London dan menyerahkan wilayah Hindia Belanda kepada Inggris.

Untuk mempertahankan wilayah Hindia Belanda, pemerintah Perancis mengirim Herman Wilhelm Daendels yang kemudian memerintah Hindia Belanda sebagai Gubernur Jenderal dari tahun 1808-1811, yang tunduk kepada penguasa Perancis. Selanjutnya, Yansens yang menggantikan Daendels pada tahun 1811 tidak mampu berbuat banyak menghadapi serangan Inggris. Yansens kemudian menyerah tanpa syarat kepada Inggris pada tahun 1811 di Tuntang (dekat Ambarawa, Jawa Tengah).

Dalam pertempuran di Sungai Aur tanggal 14 September 1811, pasukan Belanda dapat dihancurkan Sultan Mahmud Badaruddin II. Dengan demikian, Palembang dapat dibebaskannya dari kekuasaan Belanda. Namun pada bulan September itu juga, Inggris merebut Indonesia dari Belanda. Sultan Badaruddin II tidak mau mengakui kekuasaan Inggris atas Palembang. Inggris memaksakan kehendaknya dengan kekuatan militer. Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles yang merasa memiliki wewenang atas Hindia Belanda mengutus tiga orang opsirnya ke Palembang. Tujuan pengiriman itu adalah untuk mengambil alih kongsi dagang Belanda di wilayah itu. Tetapi, utusan itu ditolak oleh Sultan Badaruddin II.

Tentu saja, hal itu menyebabkan Raffles yang memerintah Hindia Belanda antara tahun 1811-1816 menjadi marah. Pada 20 Maret 1812, ia mengirimkan ekspedisi pasukan di bawah Jenderal Robert Rollo Gillispie. Kedatangan pasukan Inggris itu disambut dengan perlawanan sengit oleh pasukan kerajaan. Karena persenjataan musuh lebih besar maka Sultan Badaruddin II yang ketika itu menyingkir ke Muara Rawas, menggunakan taktik gerilya. Wakil Panglima Besar (1962-1965) Ketua MPRS (1966-1972)
perang gerilya itu banyak merugikan kedudukan Inggris sehingga harus mengakui keberadaan Kesultanan Palembang.

Sesuai dengan Konvensi London tahun 1814, kekuasaan Belanda di Indonesia dipulihkan. Pada bulan Juni 1818, Palembang dikembalikan Inggris kepada Belanda. Badaruddin II diangkat kembali menjadi sultan. Akan tetapi, di daerah pedalaman, rakyat bergolak menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Belanda menuduh Sultan Badaruddin II berdiri di belakang pergolakan itu.

Untuk mengatur keadaan Indonesia, pemerintah Belanda mengangkat tiga komisaris Jenderal yaitu van der Capellen, Buyskes, dan Elout. Kemudian van der Capellen diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Untuk itu, pasukan Belanda mengadakan serangkaian tindakan militer namun mendapatkan perlawanan sengit dari Sultan Badaruddin II. Untuk mematahkan perlawanan Sultan Palembang itu, tentara kolonial mendatangkan dua kapal perang yaitu Eendracht dan Ayax. Kapal-kapal itu berlabuh dekat Keraton Besak, tempat sultan bertahta.

Perang besar pun terjadi selama tiga hari tiga malam. Belanda kemudian mengerahkan kapal perang lain yang dikepalai oleh Jenderal Schubert dan Laksamana Wolterbeek. Ekspedisi perang pun mengalami kekalahan sehingga dikirimkan kembali suatu ekspedisi di bawah Jendral Baron de Kock. Pada bulan Juni 1819, pasukan Belanda berusaha merebut keraton, tetapi gagal. Sultan Badaruddin II diajak berunding, tetapi ia menolak. Perlawanan Sultan Badaruddin II bersama pasukannya tidak dapat dikalahkan sehingga pasukan Belanda harus mundur.

Pada tahun 1821, Belanda mendatangkan pasukan yang lebih besar di bawah pimpinan Mayor Jenderal Marcus de Kock. Pertempuran pun pecah kembali. Belanda berhasil menduduki Benteng Kembar dan Plaju. Dengan demikian, jalan menuju Palembang terbuka. Jenderal De Kock mengultimatum Sultan Badaruddin supaya menyerah, tetapi tidak diindahkan Sultan. Belanda pun melancarkan serangan besar-besaran.

Karena dengan jalan perang, Belanda tidak dapat mengalahkan Sultan maka diadakan siasat khusus. Pada suatu hari Sultan Badaruddin II diberi tahu bahwa Susuhunan Husin Dhiaudin dan Prabu Anom mengundang Sultan untuk berunding di atas sebuah kapal Belanda. Sultan Badaruddin II pun tanpa menaruh curiga datang ke tempat perundingan dimaksud. Seketika itu, ia ditangkap karena perundingan itu hanya merupakan perangkap Belanda. Pada 1 Juli 1821, keraton Palembang diduduki Belanda.

Mula-mula Sultan yang gagah berani itu dibawa ke Batavia kemudian diasingkan ke Ternate. Dengan tertangkapnya Sultan Badaruddin II maka padam juga perlawanan kerajaan Palembang yang diganti dengan penguasa-penguasa yang tunduk kepada pemerintah Belanda. Masa pengasingan itu dijalaninya dengan tabah. Sultan Badaruddin II hidup dalam pengasingan selama 31 tahun sampai saat meninggalnya pada 26 November 1852.

 Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.
Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.
Konflik dengan Belanda
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Bataviadan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.
SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah melalui penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin dan sultan ahmad najamuddin prabu anom )dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi sudah diketahui oleh belanda serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. di depan sekali kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin Diauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan Ratu Bahmud Badaruddin / SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak saudaranya sendiri yang berada dikapal belanda dan anggapan orang sultan palembang Darussalam sampai hati membunuh saudara karena harta / tahta (Badar Darussalam
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852. Sebagian Keluarga Sultan karena tidak mau ditangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga Sembilan yang di kenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan Komering Ilir dan berasimilasi dengan penduduk di Desa yang dilewati Mulai dari Pampangan sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan Panglima Radja Batu Api sampai meninggal disemayamkan Di Tulung Selapan. ( selama 35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar