Rabu, 21 November 2012

Perbedaanku dan Shasha

Perbedaanku dan Shasha
Baru sekarang aku mengerti apa yang dimaksud orang-orang waktu mereka bilang bahwa kesunyian kadang lebih memekakkan daripada keramaian. Aku berharap ada yang bicara, berteriak, tertawa, atau apapun yang dapat memecahkan kesunyian ini, tapi hanya ada empat orang di sini dan tidak satupun dari kami punya tenaga untuk bicara.

Rasanya sudah berabad-abad sejak aku menerima telepon itu, tapi saat aku melirik jam tanganku, rupanya baru dua jam berlalu. Aku berdiri dan mulai mondar-mandir, suara langkah kakiku bergema sepanjang koridor itu. aku tahu aku harus melakukan sesuatu, akalu tidak rasanya aku bisa meledak. Kenapa mereka belum juga keluar? Apa yang terjadi? Apakah dia? Enggak, aku enggak boleh berpikir begitu. Warna hijau dan putih steril yang menghiasi dinding koridor mulai membuatku pusing. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Mungkin saat aku membuka mata nanti, aku akan berada di tempat tidurku dan semua ini hanya mimpi buruk.

“Cel,” Aku membuka mata. Aku masih di rumah sakit. Semua ini nyata. Menelan kembali rasa frustasi, aku menoleh kepada orang yang memanggil namaku. Jessica berdiri di dekatku, wajahnya nampak lelah dan matanya masih merah bekas menangis, namun suaranya stabil dan tanpa emosi saat dia bicara. “Kamu lapar enggak? Aku mau turun ke kantin, cari makanan buat Mama dan Papa. Kamu mau apa?”

Aku menggeleng. “Enggak usah Jes, makasih. Aku enggak lapar.” Dia mengangguk sambil memaksakan senyum kecil sebelum tanyannya menekan tombol lift. Aku ragu-ragu sejenak, lalu aku memanggilnya. Dia menoleh, salah satu alisnya terangkat dengan heran. “Makasih sudah mengabari aku tentang Sasha,” kataku.

Jessica tersenyum tipis lagi. “Enggak masalah. Kamu kan sahabatnya, kamu berhak tahu.” Pintu lift terbuka dan Jessica menghilang ke dalamnya, dan sekali lagi koridor itu sunyi. Aku menunduk, menyembunyikan senyum pahit yang melintas di wajahku. Sahabat. Apa kami masih dibilang bersahabat?

Aku berjalan kembali ke bangkuku untuk mengambil tasku. Papa dan Mama pasti khawatir kalau aku enggak mengabari rumah, walaupun tadi Papa sendiri yang mengantar aku ke sini. Aku menekan nomor telepon rumah dan menunggu sampai teleponnya diangkat. Mama yang bicara. Kayaknya Mama sudah menunggu-nunggu telepon ini.

“Ma, ini Celine,” sapaku. “Kayaknya aku masih lama di sini. Nanti kalau aku mau pulang, aku telepon Papa ya.”

“Ya, kita tunggu.” Sesaat tidak ada yang bicara, kemudian Mama berkata lagi, “Bagaimana keadaan Sasha?” Aku melirik kedua orangtua Sasha dan merendahkan suaraku. Biarpun begitu, aku yakin mereka tetap dapat mendengar setiap ucapanku.

“Jessica bilang, menurut dokter, kondisi Sasha lumayan parah dan perlu dioperasi, tapi dia akan baik-baik saja,” jawabku. Aku enggan menyebutkan detailnya, bahwa tulang rusuknya ada yang patah dan kepalanya terluka, dan bahwa dokter sendiri masih belum yakin dengan pernyataan yang terakhir itu. Pengemudi truk yang menabraknya mabuk berat dan sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi, sehingga dampak kecelakaan itu pada Sasha juga besar. Hanya memikirkannya saja membuatku ingin muntah.

“Syukurlah kalau begitu. Kabari lagi kalau perlu apa-apa, ya?” Aku berjanji untuk melakukannya sebelum memutuskan telepon. Mataku terpaku pada foto yang kupasang di wallpaper handphone-ku, namun aku bukan memikirkan tentang foto itu sendiri. Kapan terakhir kali aku dan Sasha foto bareng? Kapan terakhir kali kami benar-benar ngobrol? Aku enggak ingat, pastinya sudah lama, terlalu lama.

Tanganku tanpa sadar bermain-main dengan gelang manik-manik berwarna putihyang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sasha punya gelang yang sama, hanya saja warnya pink. Aku, cewek yang paling benci kerajinan tangan, yang membuatnya bertahun-tahun lalu, untuk hadiah ulang tahun Sasha. Aku masih suka tertawa sendiri bila mengingat ekspresi terkejut di wajahnya saat itu.

Aku memejamkan mata, mencoba mengusir air mata yang mulai menggenang. Kamu harus bangun, seruku dalam hati. Harus!
***

“Halo, Celine? Ini Jessica. Kamu di mana?” butuh beberapa menit untuk mengenali suara Jessica. Walaupun dia kembaran Sasha, kami jarang mengobrol, dan dia belum pernah telepon aku sebelumnya.

“Di rumah. Ada apa?” tanyaku. Nada panik dan bingung di dalam suaranya membuatku tegang.

“Sasha. Sasha kecelakaan.” Handphoneku nyaris terlepas dari tanganku, namun aku berhasil menangkapnya. Untuk sesaat aku mengira aku salah dengar, namun suara Jessica pecah menjadi tangisan, dan aku tahu dia bersungguh-sungguh. “Kamu bisa ke sini sekarang? Dia butuh kamu, Cel.”

“Aku berangkat sekarang.”
***

Aku sudah lupa kapan tepatnya aku bertemu Sasha, tapi kami tidak terpisahkan sepanjang SD sampai SMP. Pembawaan Sasha yang tenang mengimbangi kecerewetanku dan dia satu-satunya orang yang tahu persis apa yang harus dilakukan kalau aku marah atau sedih. Kami berbeda pendapat tentang banyak hal, mulai dari rasa es krim yang paling enak (aku bilang vanilla, Sasha pilih mocha) sampai film yang paling bagus sepanjang masa (Titanic versus Lord of the Rings). Biarpun begitu, kami sama-sama setuju bahwa kekuatan super yang paling keren adalahinvincibility. Dan setelah kami masuk SMA, aku menemukan kesamaan kami yang lain. Kami menyukai cowok yang sama.

Ya, semua ini benar-benar sangat klise, dan aku benar-benar mengira kami akan berpisah karena sesuatu yang lebih…entahlah, lebih meyakitkan mungkin. Aku enggak pernah menyangka masalah cowoklah yang akan mendorong perpisahan kami.

Namanya Ryan. Dia sekelas dengan Sasha, dan karena Sashalah kami berkenalan.
***

“Sha, pinjam latihan Kimia dong.” Aku berusaha untuk enggak memandanginya terlalu lama, tapi cowok yang baru saja menyapa Sasha itu tipe cowok yang membuatmu menoleh bila kamu bertemu dengannya di jalan, aku sudah sering melihat wajahnya, tapi aku belum pernah mendengar suaranya.

Sasha memberikan buku yang diminta. “Nih, tapi aku sendiri cuma nyalin dari papan, jadi jangan tanya aku kalau ada yang enggak ngerti.” Lalu Sasha menoleh padaku.”Nanti kalau mau ulangan, aku privat sama kamu ya. Aku benar-benar enggak nyambung sama bab yang ini.” Aku tertawa kecil dan mengangguk. Kimia mungkin satu-satunya pelajaran di mana Sasha butuh bantuanku, bukan sebaliknya.

Cowok itu menatapku juga, sekilas aku bisa melihat ada rasa penasaran di matanya, tapi dia dengan cepat mengalihkan pandangannya ke Sasha. “Thanks Sha, besok aku kembaliin.”

Saat dia sudah keluar kelas, aku mengamati Sasha. Ada senyum kecil di wajahnya saat dia melanjutkan menata tasnya. “Hayo ya, senyum-senyum sendiri,” godaku. “Gebetanmu ya?”

“Enggak kok, lucu saja rasanya kalau Ryan pinjam catatanku. Dia kan biasanya rajin,” kelit Sasha, sambil terus menyimbukkan diri dengan tasnya. “Ayo pulang, aku sudah ngantuk nih.”

“Sha, Ryan orangnya itu gimana sih?” tanyaku suatu kali saat Sasha menelponku.

“Mmm, orangnya baik. Kenapa? Dia SMS kamu ya? Kamu enggak keberatan kan aku kasihin nomormu ke dia?”

“Enggak sih, tapi…” Aku ragu-ragu. “Bukannya kamu naksir dia, ya?”
“Kan aku sudah pernah bilang, Ryan itu cuma teman sekelas. Lagian, dia kayaknya suka sama kamu deh. Aku dukung deh kalau kalian mau jadian.”

Aku tertawa. “Ya, ya, terserah deh. Tapi kamu yakin nih, kalau kamu enggak naksir dia?”

“Yakin.”

Anehnya, semakin dekat aku dan Ryan, Sasha semakin menjauh dariku. Dia jarang main ke kelasku dan sering kali saat aku ke kelasnya, dia enggak ada. Merasa bahwa Sasha enggak jujur padaku, aku pernah menjauhi Ryan. Tetapi Sasha menegaskan sekali lagi bahwa dia enggak naksir Ryan.

‘Kalaupun aku naksir dia, aku enggak menjauhi kamu karena itu. kamu jauh lebih penting buatku daripada cowok manapun,” katanya waktu itu. Dan untuk waktu yang singkat, persahabatan kami kelihatannya kembali normal.

Namun entah kenapa, perbedaan-perbedaan kami mulai meruncing, argumen-argumen kecil yang biasanya cepat selesai sekarang membuat kami sama-sama jengkel untuk waktu yang lama. Jurang di antara kami pelan-pelan melebar, dan sebelum aku sadar, aku dan Sasha bagai dua orang asing. Aku enggak pernah menghubungkan semua ini dengan Ryan, sampai Jessica keceplosan memberitahuku.

“Oh, kamu jadian sama Ryan? Selamat ya,” kata Jessica. Aku tersenyum. Aku enggak akan pernah mengakuinya, tapi aku menikmati ekspresi kagum campur iri yang kadang muncul di wajah teman-temanku saat mereka melihat Ryan.”Dulu aku kira Ryan bakal jadian sama Sasha.”

Aku mengerjapkan mata, enggak mempercayai pendengaranku. “Hah?”

Jessica, menyadari kesalahannya, cepat-cepat menggelengkan kepalanya. “Oh, enggak. Anggap aku enggak pernah ngomong. Aku duluan ya.” Namun aku cepat-cepat mencengkeram lengannya sebelum dia sempat kabur.

“Sasha naksir Ryan, kan? Kenapa dia enggak pernah bilang sama aku? Kenapa harus bohong?” tanyaku sambil mengusahakan agar suaraku tetap datar.

Jessica tampak serba salah. Setelah melirik ke kanan-kiri, dia merendahkan suaranya dan menjawab, “Iya, Sasha pernah naksir, dan Ryan lumayan dekat sama Sasha. Tapi terus Sasha tahu kalau Ryan suka sama kamu dan kelihatannya kamu juga suka. Ya sudah, Sasha enggak mau ganggu. Dia sebenarnya sudah ngerelain, tapi sedikit banyak masih ada kesalnya karena kamu ngerebut Ryan. Karena itu, tanpa disadari, dia sering bertengkar sama kamu.” Aku membuka mulut untuk protes, bahwa seandainya Sasha jujur tentang perasaannya, aku pasti bakal menjauhi Ryan. Namun bel masuk kelas terlanjur berbunyi, dan Jessica buru-buru membebaskan diri dari peganganku, meninggalkan aku seorang diri, kepalaku berdenyut-denyut enggak karuan.
***

Sekali lagi aku melirik jam tanganku. Sudah tiga jam aku menunggu. Jessica sudah kembali dari kantin rumah sakit, membawakan sekotak jus jeruk untukku. Aku minum sedikit, rasa kecutnya membuatku mengernyit. Jeruk adalah buah kesukaan Sasha. Aku sendiri lebih memilih apel.

Aku mendesah, hatiku rasanya makin sesak setiap kali memikirkan Sasha. Sudah lebih dari enam bulan aku enggak bicara dengannya. Aku sempat berpikir untuk menelpon, menanyakan kenapa dia enggak jujur soal Ryan, tapi aku terlalu kesal. Aku terus menunda-nunda, mengatakan pada diri sendiri bahwa seharusnya dia yang mulai duluan, bukan aku. Sekarang, apa yang akan kulakukan kalau Sasha meninggal?

Handphone-ku berbunyi lagi, menandakan SMS dari Ryan. Dia tadinya mau datang untuk menemaniku dan menunggu Sasha, tapi aku melarangnya. Walaupun aku membutuhkan kehadirannya, aku rasa keluarganya enggak akan senang kalau ada orang lain di sini. Aku juga enggak tahu bagaimana reaksi Sasha bila dia bangun nanti dan melihat Ryan di situ bersamaku.

Suara pintu yang dibuka membuatku mengangkat kepala, sementara kedua orangtua Sasha langsung berdiri, menyambut kehadiran dokter dengan pertanyaan-pertanyaan tentang putri mereka. Aku tidak berani beranjak dari tempatku berdiri, tidak ingin mendengar kabar buruk dari mulut dokter itu. kupejamkan mataku sekali lagi. Please, Sha, jangan pergi. Please.

“Kamu membuatku takut.”
Sasha tersenyum lemah. Wajahnya masih pucat dan gerakan yang paling sederhana pun nampaknya menguras energinya, tapi yang penting dia masih hidup.

“Kita kan invincible, kenapa harus takut?” Aku tertawa, namun ekspresi Shasa terlihat serius. “Maafkan aku. Aku harusnya jujur padamu tentang Ryan.”

“Ya, seharusnya,” jawabanku. “Tapi aku seharusnya lebih peka tentang perasaanmu, dan seharusnya aku lebih berusaha menghubungi kamu.”

“Kalau begitu, enggak ada yang perlu dimaafkan di sini,” kata Sasha.
Aku mengangguk.”Tapi lain kali, jangan menunggu sampai sekarat baru mencari aku. Oke?”

Sasha tertawa. “Oke.”

Sasha dan aku berbeda dalam banyak hal, tapi kami juga punya banyak persamaan. Aku yakin, kami sama-sama bisa memegang janji yang satu ini.
(Oleh: Priscilla Maretta, foto: indulgy.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar